Rabu, 25 Agustus 2010

Orthopedagogik Umum II

Oleh,..
Suhendar S.Pd




B. Pendidikan Luar Biasa

Pengertian pendidikan luar biasa dirumuskan berdasarkan perspektif-perspektif tertentu. Pengertian tersebut dapat juga dirumuskan berdasarkan pelaku, bahan pelajaran, cara mengajar, dan tempat pendidikan.
Menurut Heward dan Orlansky (1980) pendidikan luar biasa ialah suatu profesi yang memiliki alat, teknik, dan penelitian yang seluruhnya berpusat pada peningkatan penataan dan prosedur pengajaran dan menyesuaikannya pada kebutuhan orang luar biasa. Pendidikan luar biasa ialah penataan setting fisik, peralatan dan bahan, pengajaran, dan intervensi yang dirancang secara perorangan dan dimonitor secara sistematis serta disiapkan untuk membantu anak luar biasa mencapai kepuasan diri dan prestasi akademis yang sebaik-baiknya.
Menurut Pradopo (1977) pendidikan luar biasa ialah pendidikan kepada orang-orang yang dalam keadaan kekurangan maupun kelebihan pada pertumbuhan dan perkembangan segi fisik, intelegensi, sosial dan emosinya.
Sedangkan menurut Ismed Syarif (1992) dalam makalah Kelembagaan Penyelenggaraan Pendidikan Luar Biasa disebutkan bahwa Pendidikan Luar Biasa adalah pendidikan yang khusus diselenggarakan bagi peserta didik yang menyandang kelainan fisik dan atau mental.
Pendidikan Luar Biasa meliputi berbagai hal di antaranya:
1. Pemahaman anak luar biasa termasuk jenis-jenisnya.
2. Sebab-sebab keluarbiasaan
3. Pendidikan Luar Biasa sebagai ilmu
4. Landasan dan tujuan
5. Pengembangan instruksional

Lebih jauh akan dijelaskan secara ringkas dari masing-masing cakupan:

1. Pemahaman anak luar biasa
a. Definisi anak luar biasa

Menurut Kirk dan Gallagher (1983) anak luar biasa adalah seorang anak yang menyimpang (terdeviasi) dari anak rata-rata atau anak normal dalam hal:

(1) karakteristik mental,
(2) kemampuan-kemampuan sensori,
(3) karakteristik neuromotor,
(4) perilaku sosial
(5) kemampuan-kemampuan komunikasi, atau
(6) handicap (cacat) ganda.

Penyimpangan atau kelainan di atas haruslah sedemikian rupa sehingga si anak membutuhkan suatu modifikasi dari latihan-latihan atau praktek-praktek di sekolah, atau pelayanan pendidikan khusus, guna mengembangkan kemampuan dirinya hingga kapasitas maksimum.
Selanjutnya Kirk dan Gallagher (1983) mengemukakan bahwa anak luar biasa harus dianggap sebagai seseorang yang kebutuhan pendidikannya berbeda dari anak rata-rata atau anak normal, sehingga ia tidak dapat diajari secara efektif tanpa pengadaan program-program, pelayanan, fasilitas atau material pendidikan khusus.
Dari definisi di atas, maka jelas bahwa sekalipun seseorang dianggap cacat seperti tidak memiliki alat gerak (karena amputasi), jika ia tidak memerlukan pelayanan pendidikan secara khusus, maka ia tidak dianggap atau tidak bisa disebut sebagai anak luar biasa.

b. Jenis-jenis anak luar biasa

Dalam Petunjuk Praktis Penyelenggaraan Sekolah Luar Biasa dikemuka-kan bahwa klasifikasi anak-anak luar biasa tidak semudah apa yang kita sangka, sebab seorang anak dapat mengalami penyimpangan-penyimpangan ganda sebagai akibat dari sebuah kelainan. Misalnya, seorang anak mengalami kelainan otak, dan manifestasi dari kelainan itu ternyata adalah menghambat perkembangan inteleknya. Anak yang lain
yang mengalami kelainan pada otak, ternyata hanya menderita tuna wicara saja. Kemudian kita masih dihadapkan pada perbedaan gradual. Jadi, di antara anak-anak yang buta, terdapat mereka yang masih melihat cahaya, ada yang masih dapat melihat obyek-obyek besar, dan sebaliknya ada pula yang sama sekali tidak dapat melihat. Lebih lanjut diamati juga perbedaan gradual pada anak-anak yang mengalami hambatan-hambatan mental. Misalnya, ada yang “perlu rawat“ yaitu mereka yang tidak dapat dilatih untuk sesuatu kecakapan tertentu. Anak-anak ini dikenal dengan sebutan “idiot”. Mereka yang ada di atas tingkatan idiot adalah mereka yang disebut “embisil”. Mereka itu anak-anak “mampu latih” yang masih dapat dilatih untuk menjaga dan merawat diri sendiri. Anak-anak yang “debil” mempunyai kemampuan mental di atas anak-anak embisil, tetapi masih terlalu jauh dari anak-anak normal. Mereka itu ialah anak-anak “mampu didik”.
Menurut Mohamad Amin (1992) dalam Seminar Nasional Pengembangan PLB di Indonesia, klasifikasi anak luar biasa yang hingga kini masih memiliki nilai-nilai praktis penyelenggaraan yang tinggi, adalah sebagai berikut:
1) Bagian A - Pendidikan bagi anak tunanetra
2) Bagian B - Pendidikan bagi anak tunarungu
3) Bagian C - Pendidikan bagi anak tunagrahita
4) Bagian D - Pendidikan bagi anak tunadaksa
5) Bagian E - Pendidikan bagi anak tunalaras, yaitu anak-anak yang sukar menyesuaikan diri (maladjusted), dan anak-anak nakal (delinquent).
6) Bagian G - Pendidikan bagi anak tunaganda



2. Sebab-sebab keluarbiasaan

Seperti telah dijelaskan pada bagian Ortopedagogik, sebab-sebab keluar-biasaan untuk dapat ditinjau dari segi waktu kejadiannya, yakni prenatal (masa dalam kandungan), natal (masa kelahiran) dan post natal (masa setelah kelahiran).
Namun demikian, terdapat pula faktor-faktor keturunan yang disebut juga faktor endogeen atau tropographical causes dan faktor-faktor perolehan atau disebut juga faktor exogeen atau etiological causes(Meiyani, 1990).

3. Pendidikan Luar Biasa sebagai ilmu

Pendidikan Luar Biasa seperti sekarang sudah dapat disebut ilmu yang berdiri sendiri, atau merupakan sub disiplin ilmu yang lain, karena syarat-syarat disiplin ilmu sudah dimilikinya, yakni adanya obyek materil, obyek formal, dan metode. Sebagai ilmu yang otonom, PLB (Pendidikan Luar Biasa) tidak mengambil semua ilmu-ilmu yang lain menjadi obyeknya, namun PLB menentukan sendiri yang mana di antara obyek-obyek tersebut akan diambilnya. Obyek yang tidak diperlukannya akan dilewatkannya, sebaliknya PLB akan memungut obyek yang laib yang diperlku-kannya sekalipun ilmu-ilmu yang lain tidak mengambilnya.

4. Landasan dan tujuan

Seperti halnya pada Ortopedagogik, Pendidikan Luar Biasa memiliki landasan dan tujuan.

Landasan
Landasan penyelenggaraan Pendidikan Luar Biasa terdiri dari:
a. Landasan penyelenggaraan PLB berdasarkan historis atau sejarah
b. Landasan penyelenggaraan PLB berdasarkan psikologis atau ilmu jiwa
c. Landasan penyelenggaraan PLB berdasarkan sosiologis
d. Landasan penyelenggaraan PLB berdasarkan yuridis formal (Widjajantin dan Hitipeuw)

Tujuan
Menurur Ismed Syarif (1992) penyelenggaraan pendidikan luar biasa ditujukan untuk mencapai tujuan pendidikan luar biasa, yang berbunyi: “membantu peserta didik yang menyandang kelainan fisik dan/atau mental agar mampu mengembangkan sikap, pengetahuan dan keterampilan sebagai pribadi maupun anggota masyarakat dalam mengadakan hubungan timbal balik dengan lingkungan sosial, budaya dan alam sekitar serta dapat mengembangkan kemampuan dalam dunia kerja atau mengikuti pendidikan lanjutan.”

5. Pengembangan instruksional

Seperti telah diuraikan pada bagian Ortopedagogik di atas, terdapat tiga komponen dalam pendidikan guna mencapai hasil yang optimal, yakni: tujuan,
pelaksanaan dan evaluasi, tidak terkecuali Pendidikan Luar Biasa. Di samping itu, penyelenggaraan PLB melalui jalur pendidikan sekolah menetapkan masing-masing satuan pendidikan luar biasa menyelenggarakan kegiatan belajar-mengajar berdasar-kan ketentuan yang berlaku. Persyaratan yang harus dipenuhi oleh setiap satuan pendidikan luar biasa yang diselenggarakan pemerintah atau masyarakat meliputi:
a. sekurang-kurangnya lima orang peserta didik;
b. tenaga kependidikan terdiri sekurang-kurangnya seorang guru kelas dan seorang tenaga ahli;
c. kurikulum didasarkan atas kurikulum nasional yang ditetapkan oleh Menteri;
d. sumber dana tetap yang menjamin kelangsungan penyelenggaraan pendidikan dan tidak akan merugikan siswa;
e. program rehabilitasi;
f. tempat belajar dan ruang rehabilitasi;
g. buku pelajaran dan peralatan pendidikan khusus;
h. buku pedoman guru, dan
i. peralatan rehabilitasi. (Ismed Syarif, 1992)

....

DAFTAR PUSTAKA

Amin, H. Mohamad, Kelembagaan Satuan Pendidikan Luar Biasa, (Makalah) Seminar Nasional Pengembangan PLB Di Indonesia, Himpunan Sarjana Pendidikan Luar Biasa, Bandung, 1992.
Casmini, Mimin, Ortopedagogik Umum, Diktat Kuliah, Jurusan Pendidikan Luar Biasa, Fakultas Ilmu Pedidikan, Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Bandung, Bandung, 1990.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Identifikasi dan Evaluasi Anak Luar Biasa (Edisi ke-2), Proyek Pembinaan Sekolah Luar Biasa, Jakarta, 1992.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Petunjuk Praktis Penyelenggaraan Sekolah Luar Biasa Bagian A / Tunanetra, Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah,

Selasa, 24 Agustus 2010

Orthopedagogik Umum I (satu)

Oleh,..
Suhendar S.Pd



Ortopedagogik dan pendidikan luar biasa tentunya memiliki perbedaan dan persamaan, namun pada prinsipnya keduanya tidak jauh berbeda. Bahkan dalam hal-hal tertentu memiliki banyak persamaan.
Sebelum dibahas tentang persamaan dan perbedaan antara Ortopedagogik dan Pendidikan Luar Biasa, terlebih dahulu akan diuraikan pengertian dari masing-masing istilah tersebut.

A. Ortopedagogik

Secara etimologis Ortopedagogik berasal dari bahasa Yunani, terdiri dari tiga buah kata, yaitu pertama kata orto, yang berasal dari kata orthos yang berarti lurus, baik, atau sehat. Kata kedua peda yang berasal dari kata paeda yang berarti anak; dan yang ketiga agogik yang berasal dari kata agogos yang berarti pendidikan. Jadi, ortopedagogik dapat diratikan sebagai ilmu pengetahuan yang membahas pendidikan yang diberikan untuk membantu pendidikan anak luar biasa.
Ortopedagogik meliputi berbagai hal di antaranya:
1. Pemahaman anak luar biasa termasuk jenis-jenisnya.
2. Sebab-sebab keluarbiasaan
3. Ortopedagogik sebagai ilmu
4. Landasan dan tujuan
5. Pengembangan instruksional

Lebih jauh akan dijelaskan secara ringkas dari masing-masing cakupan:
1. Pemahaman Anak Luar Biasa
a. Istilah

Banyak terdapat istilah untuk menyatakan bahwa seseorang adalah luar biasa. Secara umum istilah tersebut misalnya anak cacat, anak abnormal, anak berke-kurangan, dan anak khusus. Anak luar biasa mencakup anak-anak yang kehilangan atau mengalami penurunan fungsi organ, yang mengalami masalah belajar atau masalah tingkah laku, dan yang mempunyai keistimewaan intelek. Bedanya dari anak normal ialah mereka untuk memenuhi kebutuhannya memerlukan pendidikan luar biasa yang terprogram secara perorangan.
Istilah-istilah di atas memiliki kaitan dengan istilah-istilah disability, impairment, handicap, dan at risk, yaitu:
1) disability: menurunnya fungsi atau hilangnya salah satu organ. Kalau tidak mengakibatkan permasalahan, disability tidak disebut handicap.
2) impairment: sinonim dengan disability
3) handicap: disability yang mengakibatkan masalah dalam interaksi dengan lingkungan; istilah ini tidak mencakup yang gifted dan yang berbakat.
4) at risk: kemungkinan akan menjadi handicap.


b. Jenis-jenis anak luar biasa.

Penggolongan anak luar biasa didasarkan pada hal-hal sebagai berikut:
1) kelainan fisik, yang terdiri dari:
a) Kelainan penglihatan (tunanera)
b) Kelainan pendengaran/bicara(tunarungu wicara)
c) Cacat tubuh (tuna daksa)

2) Kelainan mental, yang terdiri dari:
a) Golongan cerdas
b) Golongan terbelakang mental (tuna grahita)

3) Kelainan sosial, yang biasa disebut tuna laras

3. Ortopedagogik sebagai ilmu

Ortopedagogik dapat disebut sebagai ilmu yang berdiri sendiri, karena telah memenuhi syarat-syarat suatu disiplin ilmu, yakni obyek materil, obyek formal, dan metoda sendiri.
Obyek materil Ortopedagogik memiliki: tujuan pendidikan, proses pendidikan, materi pelajaran dengan metode penyampaiannya, anak didik, hubungan pendidikan dengan anakdidik, dan sebagainya.
Obyek formal Ortopedagogik yaitu anak luar biasa, yang memiliki kelainan atau masalah sedemikian rupa sehingga membutuhkan pelayanan pendidikan khusus.
Metode Ortopedagogik menjamin sampainya hak pendidikan kepada pemiliknya yaitu anak luar biasa.

4. Landasan dan tujuan

Landasan Ortopedagogik
Ortopedagogik memiliki landasan sebagai berikut:
a. Landasan sebagai alasan dapatnya ortopedagogik dibangun terdapat pada diri anak didik yang mempunyai kelainan atau anak didik luar biasa. Seperti halnya anak normal, anak luar biasa merupakan homo educandum dan homo educabilis (manusia bersifat mendidik dan manusia bersifat dapat dididik).

b. Landasan sebagai alasan perlunya ada ortopedagogik, termasuk di dalamnya:
1) Landasan agama dan perikemanusiaan
2) Landasan Pancasila
3) Landasan hukum positif
4) Landasan sosial ekonomi
5) Martabat bangsa.

c. Landasan sebagai cara mengamalkan ortopedagogik meliputi perbedaan individual, persamaan dengan anak normal, keterampilan praktis, rasional dan wajar.

Tujuan Ortopedagogik
Ortopedagogik bertujuan untuk memberikan pelayanan pendidikan seperti halnya tujuan pendidikan biasa, namun sudah barang tentu dengan beberapa penyesuaian sesuai dengan kemampuan anak-anak luar biasa. Tujuan yang berada di luar kemampuan anak tidak perlu disampaikan. Di lain pihak tujuan yang bagi anak normal merupakan hal yang biasa dan tidak memerlukan perhatian khusus, dalam ortopedagogik mungkn mendapat penekanan khusus.


5. Pengembangan instruksional

Terdapat tiga komponen dalam pendidikan guna mencapai hasil yang optimal, yakni: tujuan, pelaksanaan dan evaluasi.
Tujuan dapat berupa tujuan akhir pendidikan, tujuan sementara, tujuan institusional, tujuan kelas, tujuan sementara, tujuan harian. Tujuan ortopedagogik disesuaikan dengan kemampuan anak didik dalam hal perhatian, kemampuan, dan juga kebutuhannya. Selain itu juga diperhatikan hal-hal yang akan turut mempengaruhi keberhasilan pendidikan seperti keadaan ruangan, alat pelajaran dan sebagainya.




DAFTAR PUSTAKA

Amin, H. Mohamad, Kelembagaan Satuan Pendidikan Luar Biasa, (Makalah) Seminar Nasional Pengembangan PLB Di Indonesia, Himpunan Sarjana Pendidikan Luar Biasa, Bandung, 1992.
Casmini, Mimin, Ortopedagogik Umum, Diktat Kuliah, Jurusan Pendidikan Luar Biasa, Fakultas Ilmu Pedidikan, Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Bandung, Bandung, 1990.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Identifikasi dan Evaluasi Anak Luar Biasa (Edisi ke-2), Proyek Pembinaan Sekolah Luar Biasa, Jakarta, 1992.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Petunjuk Praktis Penyelenggaraan Sekolah Luar Biasa Bagian A / Tunanetra, Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Direktorat Pendidikan Dasar, Proyek Pembinaan Sekolah Luar Biasa, Jakarta, 1985/1986.
Heward, L.M. dan Orlansky, M.D. Exceptional Children: An Introductory Survey of Special Education. Columbus, Merrill, 1980.
Kirk, Samuel A. Dan Gallagher, James J., Educating Exceptional Children, Edisi ke-4, Houghton Mifflin Company, London, 1983.
Makmun, Abin Syamsudin, Pedoman Studi Psikologi Kependidikan, Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Bandung, Bandung, 1982.

Rabu, 18 Agustus 2010

Menuju Lingkungan Inklusif dan Ramah Terhadap Pembelajaran

Oleh,.. Suhendar S.Pd

Prolog…...apa itu Inklusi ?
...........................Menuju Lingkungan Inklusif, Ramah Terhadap Pembelajaran

Inklusi merupakan perubahan praktis yang memberi peluang anak dengan latar belakang dan kemampuan yang berbeda bisa berhasil dalam belajar. Perubahan ini tidak hanya menguntungkan anak yang sering tersisihkan, seperti anak berkebutuhan khusus, tetapi semua anak dan orangtuanya, semua guru dan administrator sekolah, dan setiap anggota masyarakat.
‘Inklusi’ berarti bahwa sebagai guru bertanggung jawab untuk mengupayakan bantuan dalam menjaring dan memberikan layanan pendidikan pada semua anak yang ada di masyarakat, keluarga, lembaga pendidikan, layanan kesehatan, pemimpin masyarakat, dan lain-lain.
Selama ini, istilah ‘inklusi’ diartikan dengan mengikutsertakan anak berkebutuhan khusus di kelas umum dengan anak-anak lainnya. Dalam panduan ini, ‘inklusi’ mempunyai arti yang lebih luas.
‘Inklusi’ berarti mengikutsertakan anak berkelainan seperti anak yang emiliki kesulitan melihat, mendengar, tidak dapat berjalan, lamban dalam belajar. Secara luas “inklusi” juga berarti melibatkan seluruh peserta didik tanpa terkecuali.

.....................”Perubahan Praktis Mengikut sertakan Semua Anak Tanpa Kecuali”

Di beberapa tempat, semua anak mungkin masuk sekolah, tetapi masih terdapat beberapa anak yang terpisahkan dari keikutsertaan dalam pembelajaran di kelas, misalnya:

• Anak yang menggunakan bahasa ibu yang berbeda dengan buku-buku
pelajaran dan bacaan yang digunakan;
• Anak yang tidak pernah diberi kesempatan untuk aktif dalam kelas;
• Anak yang memiliki masalah gangguan penglihatan, pendengaran, bahasa, Mental,fungsi tubuh, Perilaku dan emosi.
atau
• Anak yang tidak pernah mendapatkan bantuan ketika mengalami hambatan
belajar.

Untuk semua kondisi di atas, maka guru diharapkan bertanggung jawab untuk
menciptakan lingkungan belajar yang kondusif agar seluruh anak terlibat dalam proses pembelajaran.


Pembelajaran yang Ramah

Sekolah yang ramah terhadap anak merupakan sekolah di mana semua anak memiliki hak untuk belajar mengembangkan semua potensi yang dimilikinya seoptimal mungkin di dalam lingkungan yang nyaman dan terbuka. Menjadi “ramah” apabila keterlibatan dan partisipasi semua pihak dalam pembelajaran tercipta secara alami dengan baik.
Sekolah bukan hanya tempat untuk anak belajar, tapi guru pun juga ikut belajar dari keberagaman anak didiknya. Misalnya guru memperoleh hal yang baru tentang cara mengajar yang lebih efektif dan menyenangkan dari keunikan serta potensi setiap anak. Lingkungan pembelajaran yang ramah berarti ramah kepada anak dan guru, artinya:

• Anak dan guru belajar bersama sebagai suatu komunitas belajar;
• Menempatkan anak sebagai pusat pembelajaran;
• Mendorong partisipasi aktif anak dalam belajar; dan
• Guru memiliki minat untuk memberikan layanan pendidikan yang terbaik.

………………………………….”Ramah terhadap Pembelajaran Guru juga Belajar”

Apa saja aspek penting menuju mekanisme menuju Inklusi

Semua anak memiliki hak untuk belajar, tanpa memandang perbedaan fisik, intelektual, sosial, emosi, bahasa atau kondisi lainnya seperti yang ditetapkan dalam Konvensi Hak Anak yang telah ditandatangani hampir semua negara di dunia. Termasuk anak yang mengalami gangguan, cerdas dan berbakat. Kondisi lain termasuk juga anak jalanan, pekerja anak, anak-anak nomadik, anak-anak dengan bahasa lokal yang beragam, suku-suku minoritas, anak yang mengidap HIV dan AIDS, anak dari kelompok yang kurang beruntung, dan terpinggirkan.
Keberagaman kondisi di atas, perlu dipahami oleh guru, agar pelayanan pendidikan dapat dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan dan keunikan anak.
Mengajar anak dengan beragam latar belakang merupakan sebuah tantangan yang menarik. Jadi, kita membutuhkan pemahaman yang cukup mendalam agar dapat memberikan pelayanan pendidikan yang patut kepada semua anak didik. Tidak ada manusia lahir dengan pengetahuan yang utuh, tetapi ia dilahirkan dengan naluri belajar. Namun, seringkali naluri belajar anak dengan keingintahuannya yang besar terbunuh secara perlahan-lahan dalam
sistem pendidikan yang ada. Oleh karena itu kita butuh belajar secara terus-menerus melalui pengamatan, berbagi pengalaman, mengikuti workshop, membaca buku, dan menggali informasi dari berbagai sumber lainnya agar profesi kita sebagai guru terasah.
Setiap orang diharapkan dapat berbagi visi tentang bagaimana belajar, bekerja, dan bermain bersama. Yakinkan mereka, bahwa pendidikan hendaknya adil dan tidak diskriminatif, serta peka terhadap semua budaya dan relevan dengan kehidupan sehari-hari anak. Pendidik, tenaga kependidikan, dan semua anak sebagai masyarakat sekolah menghargai berbagai perbedaan.



Hak Anak adalah :)

“Pendidikan Adil,....
Tidak Diskriminatif....
dan Relevan.....”

Inklusi juga mengajarkan kecakapan hidup dan gaya hidup sehat, agar peserta didik dapat melindungi diri dari penyakit dan bahaya. Terlebih lagi, di dalam Inklusi tidak ada kekerasan terhadap anak, pemukulan atau hukuman fisik mlainkan mendorong pendidikan dan tenaga kependidikan, anak, keluarga, dan masyarakat untuk saling membantu. Di mana anak beserta guru bertanggungjawab terhadap pembelajaran dan secara aktif berpartisipasi di dalamnya. Belajar berkaitan erat dengan materi yang dibutuhkan dan bermakna dalam kehidupan anak juga mempertimbangkan kebutuhan, minat, dan hasrat kita sebagai pendidik. Ini berarti memberikan kesempatan kepada kita merefleksi diri untuk mengenali lebih jauh bagaimana mengajar yang lebih baik.

Uji Aktivitas Afeksi Individu untuk bersama.....
Diskusikanlah bersama rekan Anda, apa saja aspek dari lingkungan inklusif, ramah terhadap pembelajaran:
• Gambarlah sebuah lingkaran besar, kemudian tuliskan kata “Sekolah MADANI menuju Inklusi yang sebenarnya” di tengah lingkaran.
• Mintalah rekan Anda untuk menuliskan satu atau dua karakteristik mana yang dimiliki sekolah Anda
• Sambungkan/tarik garis menuju lingkaran tengah yang telah di tulis seperti dalam “spider-web” (jaring laba-laba)

Karakteristik Lingkungan Inklusif, Ramah Terhadap Pembelajaran Berbasis Pada Visi Dan Nilai-Nilai

• Melibatkan SEMUA anak tanpa memandang perbedaan
• Melindungi SEMUA anak dari kekerasan, pelecehan dan penyiksaan
• Peka budaya,
• menghargai perbedaan dan menstimulasi
• pembelajaran untuk SEMUA anak
• Meningkatkan partisipasi dan kerjasama
• Menerapkan pola hidup sehat
• Belajar disesuaikan dengan kehidupan sehari-hari anak;
• Anak bertanggungjawab atas pembelajarannya sendiri
• Memberikan kesempatan bagi guru untuk belajar, dan mengambil manfaat dari pembelajaran itu
• Keadilan jender dan Nondiskriminasi
• Keluarga, guru, dan masyarakat terlibat dalam pembelajaran anak

Catatan:
Mengubah kelas konvensional menjadi inklusif, ramah terhadap pembelajaran merupakan suatu proses. Proses ini tidak seperti membalik telapak tangan, karena memerlukan waktu dan kesunggguhan kerja kelompok yang intensif dan berkelanjutan.
Hal ini tentu akan sangat bermanfaat bagi kita secara profesional dan juga untuk anak didik, keluarga, dan masyarakatnya secara khusus.

Semoga ”Berkah” untuk kita semua.............................

Suhendar
Hendar.ortho@yahoo.com







Di Mana Anda Belajar Lebih Banyak Lagi?

Publikasi.

Booth T, Ainscow M, Black-Hawkins K, Vaughan M and Shaw L. (2000) Index for
Inclusion: Developing Learning and Participation in Schools. Bristol: Centre for
Studies on Inclusive Education.
Dutcher N. (2001) Expanding Educational Opportunity in Linguistically Diverse
Societies. Center for Applied Linguistics: Washington, DC.
EENET Asia newsletters. http://www.idp-europe.org/eenet/
Johnsen, Berit H. dan Skjørten, Miriam D. (editor) (2001) Pendidikan – Pendidikan
Kebutuhan Khusus: Sebuah pengantar. Bandung: DEPDIKNAS, Braillo Norway,
Universitas Pendidikan Indonesia [UPI].
Web: http://www.idp-europe.org/indonesia/buku-inklusi
Pijl SJ, Meijer CJW, and Hegarty S. (Eds.) (1997) Inclusive Education: A Global
Agenda. London: Routledge.
Slavin RE, Madden NA, Dolan LJ and Wasik BA. (1996) Every Child, Every School:
Success for All. Newbury Park, California: Corwin.
Stubbs, Sue (2002) Pendidikan Inklusif - Ketika hnaya ada sedikit sumber.
Oslo: Atlas Alliance. Web:
http://www.eenet.org.uk/theory_practice/IE%20few%20resources%20Bahasa.pdf
UNESCO (2001) Open File on Inclusive Education: Support Materials for Managers
and Administrators. Paris.
Web: http://unesdoc.unesco.org/images/0012/001252/125237eo.pdf
UNESCO (2005) Guidelines for Inclusion: Ensuring Access to Education for All. Paris.
Web: http://unesdoc.unesco.org/images/0014/001402/140224e.pdf
UNICEF (2006) Assessing child-friendly schools: A guide for programme managers in

East Asia and the Pacific. Bangkok.
Web: http://www.unicef.org/eapro/Assessing_CFS.pdf
Web sites
Centre for Studies on Inclusive Education (CSIE). http://www.inclusion.uwe.ac.uk
Enabling Education Network (EENET). http://www.eenet.org.uk
IDP Norway. http://www.idp-europe.org
Organisation for Economic Co-operation and Development. http//www.oecd.org/els/education
UNESCO. http://www.unesco.org/education
UNESCO/Inclusive Education. http://www.unesco.org/education/sne
UNICEF. http://www.unicef.org
UNICEF Teachers Talking About Learning. http://www.unicef.org/teachers

Selasa, 17 Agustus 2010

BODILY/KINESTHETIC (Cerdas Tubuh/Body smart)

Anak belajar melalui interaksi dengan satu lingkungan tertentu. Kecerdasan ini tidak sepenuhnya bisa dianggap sebagai cerminan dari anak yang terlihat “sangat aktif”. Bentuk kecerdasan ini lebih nyaman berada di lingkungan dimana ia bisa memahami sesuatu lewat pengalaman nyata yang ia lihat dan ia rasakan. Lebih dominan seringnya berexplor dengan lingkungan yang memicu untuk terus bergerak karena keinginan taunya “tinggi”.
Kecerdasan tubuh yang dimiliki anak sebenarnya terdapat potensi yang dapat dikembangkan menuju lebih optimal, hubungan dengan kemampuan ranah Kognitif, Afektif dan sosial itu sendiri akan memicu pada arah optimalisasi hanya membutuhkan proses dan waktu. Sangat jelas anak seperti ini lebih unggul dalam bergerak dibanding teman sebayanya dan jika kita bisa memanfaatkan keunggulannya ini akan membentuk anak lebih unggul lagi dan bersaing dengan beberapa anak-anak yang berprestasi dalam bidang gerak yang terarah.
Era sekarang tidak selalu mengedepankan kecerdasan dalam intelektual (cognitive) saja akan tetapi sudah saatnya mengangkat juga keberbakatan, karena keberbakatan yang dimiliki anak akan memicu pada kemampuan kecerdasan anak juga.
Di Amerika pada th 1980 s/d 1986 pemenang lari tercepat anak/remaja 100m dunia diraih oleh Anak Penyandang Autis. Di Australia seorang pemimpin Marcing Band di pimpin oleh seorang anak yang memiliki karakter “sangat aktif” karena kesenangannya melempar maka di arahkan pada bagai mana memainkan tongkat.
Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini jika kita sebenarnya yakin akan potensi anak kita dapat dikembangkan. Pengakuan dan keyakinan akan membuka peluang anak lebih peka, yakin dan percaya diri karena faktor psikologis ternyata anak-anak kita kepekaannya lebih tajam dibanding kita yang hanya dapat memperhatikannya...
Bagai mana cara membentuk potensi yang memang sudah terdapat pada kemampuan cerdas tubuh pada anak kita :

1.Komunikasi yang sifatnya memberikan motivasi lebih di banyak dilakukan di lingkungan rumah.
2.Libatkan sekolah untuk lebih menunjang kecerdasannya, misalnya ikut sertakan dalam kegiatan Ekstrakurikuler sekolah bidang olah raga tentunya.
3.Orang tua dituntut kooperatif dengan lingkungan yang terdekat dengan anak (selain sekolah).
4.Agenda latihan yang jelas dan konsisten
5.Buatlah rubrik perkembangan proritas gerak anak dan diskusikan dengan tenaga ahlinya.
6.jangan lupa reward dan punishman harus seimbang.

Keyakinan kita memicu anak lebih percaya diri dan terpola. Interaksi yang ia alami dengan lingkungannya setiap waktu akan dijadikan perbendaharan ilmunya. Oleh karena itu janganlah menyia-nyiakan waktu dan kesempatan ini ketika anak kita membutuhkan lebih banyak perbendaharaan ilmunya.


Cilegon 18 Agustus 2010
Suhendar
Orthopedagog

Senin, 16 Agustus 2010

Orthopedagogik (...Kang.Dado): Sekolahnya LINGKUNGAN KEHIDUPAN yang INKLUSI

Orthopedagogik (...Kang.Dado): Sekolahnya LINGKUNGAN KEHIDUPAN yang INKLUSI: "Sekolah adalah suatu tempat dimana anak-anak kita dapat bercengkrama belajar dan bermain dalam lingkungannya. Lingkungan adalah salah satu f..."

Orthopedagogik (...Kang.Dado): 9 kecerdasan Ganda yang dimiliki anak.

Orthopedagogik (...Kang.Dado): 9 kecerdasan Ganda yang dimiliki anak.: "1. VISUAL/SPATIAL (Cerdas Gambar/Picture Smart) Anak belajar secara visual dan mengumpulkan ide-ide. Mereka lebih berpikir secara konsep (ho..."

9 kecerdasan Ganda yang dimiliki anak.

1. VISUAL/SPATIAL (Cerdas Gambar/Picture Smart)
Anak belajar secara visual dan mengumpulkan ide-ide. Mereka lebih berpikir secara konsep (holistik) untuk memahami sesuatu. Kemampuan untuk melihat ‘sesuatu’ di dalam kepalanya itu mampu membuat dirinya pandai memecahkan masalah atau berkreasi.

2. VERBAL/LINGUISTIC (Cerdas Kata/Word Smart)
Anak belajar lewat kata-kata yang terucap atau tertulis. Kecerdasan ini selalu mendapat tempat (unggul) dalam lingkungan belajar di kelas dan tes-tes gaya lama.

3. MATHEMATICAL/LOGICAL (CerdasLogika-Mateamatik/Logic Smart)
Anak senang belajar melalui cara argumentasi dan penyelesaian masalah. Kecerdasan ini juga pas ditampilkan di dalam kelas.

4. BODILY/KINESTHETIC (Cerdas Tubuh/Body Smart)
Anak belajar melalui interaksi dengan satu lingkungan tertentu. Kecerdasan ini tak sepenuhnya bisa dianggap sebagai cerminan dari anak yang terlihat ‘sangat aktif’. Kecerdasan ini lebih senang berada di lingkungan dimana ia bisa memahami sesuatu lewat pengalaman nyata.

5. MUSICAL/RHYTHMIC (Cerdas Musik/Music Smart)
Anak senang dengan pola-pola, ritmik, dan tentunya musik. Termasuk, bukan hanya pola belajar auditori tapi juga mempelajari sesuatu lewat indetifikasi menggunakan panca indera.

6. INTRAPERSONAL (Cerdas Diri/Self Smart)
Anak belajar melalui perasaan, nilai-nilai dan sikap.

7. INTERPERSONAL (Cerdas Bergaul/People Smart)
Anak belajar lewat interaksi dengan orang lain. Kecerdasan ini mengutamakan kolaborasi dan kerjasama dengan orang lain.

8. NATURALIST (Cerdas Alam/Nature Smart)Anak senang belajar dengan cara pengklasifikasian, pengkategorian, dan urutan. Bukan hanya menyenangi sesuatu yang natural, tapi juga senang menyenangi hal-hal yang rumit.

9. EXISTENTIAL (Cerdas Makna/Existence Smart)
Anak belajar sesuatu dengan melihat ‘gambaran besar’, “Mengapa kita di sini?” “Untuk apa kita di sini?” “Bagaimana posisiku dalam keluarga, sekolah dan kawan-kawan?”. Kecerdasan ini selalu mencari koneksi-koneksi antar dunia dengan kebutuhan untuk belajar.

Kamis, 12 Agustus 2010

Sekolahnya LINGKUNGAN KEHIDUPAN yang INKLUSI

Sekolah adalah suatu tempat dimana anak-anak kita dapat bercengkrama belajar dan bermain dalam lingkungannya. Lingkungan adalah salah satu faktor yang dapat membentuk karakter dan perilaku serta kemampuan anak. Kehidupan itu adalah merupakan anugerah yang diberikan Allah SWT pada setiap insan di jagat raya ini. Maka Sekolahnya Lingkungan Kehidupan adalah dimana anak dapat belajar dengan konsep yang sesungguhnya. Dimana kita berada di suatu tempat, disitulah kita belajar. Disitulah kita berperilaku sebagai murid yang baik. Dengan demikian mungkin ada banyak gunanya bila kita dapat membayangkan terus-menerus kehidupan itu seperti sekolah. Ini yang saya pelajari salah satu Sekolah Kehidupan yang ada di Indonesia serta dari tulisan Gede Prama dalam tulisan "Naik Kelas Setiap Hari"

Dalam tulisan tersebut Beliau bercermin pada banyaknya PR yang sering kita tidak kerjakan sehingga kita kehilangan kesempatan untuk naik kelas dalam kehidupan. Sebab hidup tidak terlepas dari persoalan, tantangan, dan godaan. Pada saat mereka datang, itu berarti masa ulangan menjelang kenaikan kelas atau kelulusan akan datang. Ini berarti di balik kesulitan, bersembunyi kemungkinan untuk naik kelas yang lebih tinggi.

Untuk dapat naik kelas, sebagaimana dalam sekolah formal, berarti kita harus belajar dan dapat lulus ujian dari materi yang telah dipelajari. Dalam kehidupan juga ujian dan cobaan datang terus menerus. Bila tahap awal kehidupan kita digendong ibu, selanjutnya kita dari tidur, belajar tengkurap. Lulus. Habis tengkurap kita belajar untuk duduk. Lulus. Dari duduk, kita belajar berdiri. Lulus. Selanjutnya belajar berjalan, belajar naik sepeda, belajar mengendarai motor, mengendarai mobil. Belajar, ujian, dan kemudian lulus. Namun bila diperhatkan sejalan dengan waktu terjadi peningkatan materi pelajaran, dan kualitas ujian juga semakin berat. Ini baru dalam rangka pelajaran "ilmu gerakan dan perpindahan tubuh". Belum lagi pelajaran "ilmu makan dan cara memamah", mulai dari minum ASI, minum susu dengan dot, makan bubur dengan disuapin, mulai makan nasi dengan cara mengunyah, makan dengan tangan, dan akhirnya makan dengan sendok. Kehidupan menuntut perubahan dari waktu ke waktu. Dinamis dan teratur. Sama juga dalam pendidikan, semua terjadi peningkatan mutu. Mulai dari TK, SD, SMP, SMU, dan universitas.

Sekolahnya lingkungan kehidupan yang Inklusi tentunya dapat menyesuaikan dengan tingkat kemampuan anak dan anak dapat leluasa belajar dari lingkungan dan kehidupan dimana menurut mereka nyaman, karena nantinya pada akhirnya anak-anak kita akan kembali ke lingkungan kehidupannya masing-masing. Oleh karena itu tidak ada kata tidak lulus dan sudah pasti setipa hariny mereka belajar terus untuk dapat/mampu dari tadinya yang tidak mampu menuju optimalisasi.

Ini menandakan bahwa kita dapat belajar dari mereka. Kalau tidak belajar atau tidak serius dalam menghadapi ujian maka tidak akan lulus. Sama artinya dalam kehidupan sebenarnya bahwa kita dapat bejar dari kesalahan orang lain. Menurut Jennie S. Bev, kita dapat mempelajari kesalahan-kesalahan dan kegagalan orang lain, sehingga kita dapat memetik sebagai keuntungngan untuk tidak mengulanginya. Selain dari itu, kualitas hidup kita akan jauh lebih meningkat dengan cara belajar dari lingkungan sekitar tanpa henti. Karena setiap saat indera kita bekerja, maka kita sebenarnya sedang belajar di sekolah kehidupan.

Di keluarga, di masyarakat, di sekolah, di kantor adalah sebagian besar tempat kita hidup dan belajar. Dimana saja, kapan saja, dan dengan siapa saja. Tetapi jangan lupa, semua tempat tadi merupakan sebagian kecil dari alam semesta, yang terdiri dari bumi dan langit beserta isinya. Tercipta dan dicipta dalam keselarasan dan keseimbangan, serta teratur. Konsep kehidupan tidak hanya terpaku untuk yang dicipta, tetapi juga harus mengikutkan Sang Pencipta. Di sinilah sekolah kehidupan mengajarkan kita tentang arti keberadaan dan tujuan hakiki tentang kehidupan itu sendiri. Sadar atau tidak kita akan mengakui bahwa alam semesta inilah yang sebenarnya sebagai induk semua sekolah, sekolah yang universal. Tak akan terbantahkan.

Hidup adalah suatu rangkaian proses yang berulang. Dari satu generasi ke generasi, mulai dari terciptanya dunia, serta Adam dan Hawa. Selama dunia belum kiamat, maka sekolahnya lingkungan kehidupan akan tetap ada. Tinggal kita saja yang harus menentukan. Ingin memanfaatkannya atau tidak.